Jumat, 02 November 2012

BLUE DECEMBER


21 Desember 2010
Ini sudah pukul 7 pagi tapi Luna masih belum beranjak dari tempat tidurnya. Semalaman dia menunggu telfon dari Bima (pacarnya), berharap Bima orang pertama yang memberinya ucapan selamat karna hari ini adalah hari ulang tahunnya.
“On the night like this there so many things I want to tell you” .handphone Luna berdering dengan nada dering lagu favorit Luna (Mocca: On the night like this).
Spontan Luna meraba-raba meja di samping tempat tidurnya, berusaha meraih handphonenya dan dengan semangat sekali menekan tombol hijau karna terlihat foto Bima yang nampak di layar. Luna masih sangat berharap Bima memberi ucapan selamat, meskipun Vika dan Lily (sahabatnya) sudah lebih dulu mengucapkan selamat lewat sms tepat pukul 12 malam.
“Halo”
“Halo beib, udah bangun ?” tanya Bima.
“Udah beib”
“Flashdisk aku ketinggalan di rumah kamu ya ?”
What ? Bima nelfon cuman buat nanyain flashdisk, harusnya kan dia ngucapin “HAPPY BIRTHDAY” dulu (gerutu Luna dalam hati).
“Iya kayaknya sih” mulai sewot, sambil mengingat kembali semalam Bima memang meninggalkan flashdisknya di meja ruang tamu setelah meminta file program di laptop Luna.
“Aku lagi mau ketemu dosen nih, mau ngumpulin tugas, kamu tolong anterin flashdisknya ya beib ! kita ketemuan di cafe Rainbow deket kampus aku aja ya ? Aku tunggu sekarang !” Lalu menutup telfonnya tanpa membiarkan Luna menjawab dengan satu kata pun.
Luna pun akhirnya mau tidak mau bangkit dari tempat tidurnya, tidak mandi sekedar cuci muka karna sepertinya Bima benar-benar butuh flashdisknya segera. Luna memang sayang banget sama Bima meskipun mereka baru jadian 6 bulan. Meskipun Vika dan Lily juga tidak pernah setuju mereka berdua pacaran, bukan karna kampus mereka yang berjauhan, tapi karna sifat Bima yang seolah-olah selalu memperalat Luna. Bahkan setiap bertengkar pun Luna yang lebih sering mengalah. Luna memang gadis yang polos dan baru pertama kali pacaran. Luna percaya Bima adalah jodoh yang di kirim Tuhan hanya karna pernah bertemu 3x tanpa sengaja di acara pameran fotografi, entah darimana Luna mendengar mitos itu. Tapi Luna juga merasa cocok sama Bima karna hobi mereka yang sama-sama suka motret, Luna slalu merasa nyambung ngobrol sama Bima.
***
Luna sudah sampai di seberang jalan di depan café Rainbow
Luna berangkat dengan naik angkot karna motor Luna di pinjam Kak Farel.
Disana di depan cafe, Luna melihat Bima  melambaikan tangan kearahnya, sepertinya Bima sudah menunggu cukup lama.
Luna tersenyum melihat Bima dari kejauhan, dia mengira Bima menyuruhnya datang bukan sekedar  untuk mengantarkan flashdisk, tapi juga memberinya surprise sebagai hadiah ulang tahunnya. Luna memang selalu kege-eran.
Luna bersemangat sekali berjalan menghampiri Bima, Luna menyebrangi jalan tanpa menoleh ke arah kanan dan kiri dan tanpa di sadarinya sebuah mobil box melaju dengan kecepatan tinggi ke arah Luna.
“BRRAAAAKK !!”
 Luna terjatuh dengan berlumuran darah, semua nampak gelap seketika dan Luna mulai tak sadarkan diri.
Melihat kejadian itu, Bima segera berlari ke arah Luna, semua orang berkerumun mengelilingi Luna yang tergeletak tak berdaya, seseorang lainnya menghentikan taxi yang saat itu melintas, Bima segera mengangkat tubuh Luna, menggendongnya ke dalam taxi, membawanya ke rumah sakit.
***
Keluarga Luna datang setelah menerima telfon dari Bima. Dengan perasaan cemas dan khawatir mereka menunggu di depan ruang operasi Luna. Tak lama kemudian seorang dokter keluar dari kamar operasi Luna. Lalu mama Luna  langsung berdiri menghampirinya.
“Bagaimana keadaan anak saya Dok ?” tanya mama Luna dengan wajah cemas.
“Kedua tulang kakinya patah dan syaraf di kakinya mati, kemungkinan besar dia akan mengalami cacat atau lumpuh.”
Mendengar jawaban dokter, mama Luna langsung menangis, Kak Farel dan Kak Dinda berusaha menenangkan mamanya.
Sementara Bima yang mendengar dari balik dinding, yang baru saja kembali dari toilet juga langsung down, lalu pergi begitu saja tanpa pamit.
***
Sudah sekitar 14 jam Luna tak sadarkan diri.
Luna merasakan nyeri di seluruh tubuhnya dan perlahan membuka matanya.
Luna mengamati sekitarnya, di sana ada Mama, Kak Dinda, Kak Farel juga kedua sahabatnya Vika dan Lily. Tapi Luna tak melihat Bima, iya Bima dimana dia ? Luna tak melihatnya. Luna mulai mengingat kembali kejadian yang menimpanya sebelumnya.
Luna mencoba mengangkat badannya, sepertinya dia ingin duduk, tapi dia merasakan ada masalah dengan kakinya, berulang kali dia mencoba menggerakkannya tapi tak bisa. Menyadari kakinya tak bisa di gerakan Luna menangis, dia tahu sesuatu telah terjadi dengan kakinya.
Suasana menjadi hening, semuanya menatap ke arah Luna dengan rasa iba.
“Mama, kaki Luna knapa?” menatap mamanya.
Mama Luna terdiam, lalu menghampiri Luna, mengusap-usap rambutnya, memeluknya erat dengan tangisan lalu semuanya pun ikut menangis.
Dengan berat hati Kak Dinda menjelaskan kepada Luna tentang kondisi kakinya.
Luna pun akhirnya harus menerima kenyataan pahit ini. Kenyataan tentang kakinya yang tak lagi dapat berfungsi. Luna mencoba ikhlas menghadapinya. Luna pun harus mengubur dalam-dalam tentang cita-citanya yang adalah seorang atlit basket, juga melupakan hobinya bersepeda dengan kedua sahabatnya setiap hari minggu di area car freeday. Semua itu menyakitkan memang, tapi yang lebih membuat Luna sedih adalah sosok Bima yang menghilang begitu saja, yang seharusnya berada di sampingnya dalam kondisi seperti ini, rasanya lebih sakit dari kakinya yang lumpuh, lebih sakit dari kehilangan chiko kucing kesayangan Luna yang mati tertabrak motor, tapi tidak lebih sakit sewaktu Papa Luna meninggal karna serangan jantung 3 tahun yang lalu.
***
Hari-hari Luna sudah tak seceria dulu sejak kakinya lumpuh. Hatinya pun masih menyimpan luka karna kepergian Bima. Luna mungkin tak menunjukkan kesedihannya di hadapan keluarga dan kedua sahabatnya. Tapi setiap malam Luna slalu terbangun dari tidurnya dan menangis saat dia mulai merindukan Bima. Meskipun Bima meninggalkannya, Luna pun tidak berusaha mencari Bima karna bagi Luna jika memang Bima tulus mencintainya, suatu hari nanti dia akan datang kembali dengan penyesalannya. Luna masih sangat berharap pada Bima. Luna berpikir Bima meninggalkannya karna merasa bersalah. Luna tidak pernah melupakan Bima meskipun Vika dan Lily memintanya melupakannya.
21 Desember 2011
Hari ini adalah hari ulang tahun Luna yang ke-21 dan tepat setahun juga kecelakaan itu terjadi. Kecelakaan yang mengubah hidup Luna, kecelakaan yang membuat Luna melewati hari-harinya di atas kursi roda, kecelakaan yang membuat Luna tidak bersemangat lagi menyambut hari ulang tahunnya, juga yang membuat Luna sedikit membenci bulan Desember.
“Happy birthday to you, happy birthday to you, happy birthday, happy birthday, happy birthday to you “ Vika dan Lily mengagetkan Luna yang masih tertidur pulas, mereka kompak memberikan surprise untuk sahabatnya itu.
Luna terbangun dengan senyum di wajahnya, senyum yang jarang sekali terlihat. Ada rasa terharu atas surprise dari kedua sahabatnya.
“Ayo tiup lilinnya lun!” Vika menyodorkan mini tart yang di atasnya menyala lilin berangka 21 ke arah Luna
“Eits, make a wish dulu dong!” sahut Lily
Luna memejamkan matanya, dalam hati dia berdoa “Tuhan, aku rindu Bima, aku ingin bertemu dengannya”. Lalu Luna meniup lilinnya
“Thanks guys, you are the best” Luna memeluk kedua sahabatnya
“Kamu minta kado apa lun ? mumpung kita lagi baik loh. Kali ini kadonya boleh request deh !” Vika menyenggol lengan Luna dengan sikutnya
“Asal jangan yang mahal aja lun” sahut Lily
Luna tersenyum
“Aku gak minta kado apa-apa, aku cuman mau kalian nemenin aku pergi ke suatu tempat!”
“Kemana?” tanya Vika
“Danau teratai!”
Spontan Vika dan Lily saling memandang, mereka tahu sekali danau itu adalah tempat kenangan Luna dan Bima.
“Kita ke tempat lain aja ya lun, ya ya ya ?” Lily membujuk Luna
Luna menggelengkan kepala
Akhirnya mereka menuruti permintaan Luna.
***
Sesampainya di danau
Vika dan Lily membiarkan Luna bernostalgia, mereka berdua hanya mengamati Luna dari jarak 5 meter sambil duduk di bawah pohon yang rindang.
Luna mendorong sendiri kursi rodanya, mendekat ke tepi danau, memejamkan matanya, merentangkan kedua tangannya, menghadapkan wajahnya ke arah langit, menghirup udara sekitar, merasakan kembali aroma bunga teratai, lalu membuka matanya menikmati pemandangan danau yang masih asri dengan airnya yang jernih, semua masih sama seperti dulu, yang berbeda hanya kedatangan Luna yang tanpa seorang Bima di sampingnya.
Kotak eskrim itu Luna buka kembali, kotak eskrim yang Luna hias dengan stiker berbentuk hati juga pita pink yang mengikatnya rapi, kotak eskrim yang dulu isinya adalah eskrim strawberry yang Luna habiskan bersama Bima di tepi danau ini.
Perlahan Luna membuka ikatan pitanya, satu persatu benda kecil yang ada di dalamnya dia amati, mulai dari gantungan kunci berbentuk panda yang Bima berikan dulu, foto-foto bersama Bima, tiket-tiket bioskop untuk setiap film yang pernah mereka tonton, sampai secarik kertas yang dulu Bima pernah goreskan tulisan “I Love You Luna”
Luna mengingat kembali setiap momen yang pernah dia lalui bersama Bima. Momen yang membuatnya senyam-senyum sendiri. Dan yang paling berkesan adalah saat Luna dan Bima mengayuh sepeda air sampai ke tengah danau.
“Aku sayang kamu Lun !” Bima mendaratkan kecupan di kening Luna
“Aku juga” Luna tersipu malu
“Aku mau kita sama-sama kayak gini terus, sampai tua, sampai mati Lun” Bima menggenggam erat tangan Luna
Luna serasa terbang ke awan saat itu juga
Luna mulai meneteskan air mata, meskipun dia segera menghapusnya karna tidak ingin kedua sahabatnya melihat kesedihannya. Luna sadar semua hanya kenangan yang tak mungkin bisa kembali.
Lalu tak lama kemudian Luna terkejut melihat seorang cowok yang mirip sekali dengan seseorang yang selalu Luna rindukan, juga seseorang yang membuatnya galau setiap malam, iya dia mirip Bima, cowok itu berjalan ke arah dermaga, tidak, mereka tidak hanya mirip, tapi cowok itu memang benar Bima.
Spontan Luna mengucek-ucek matanya
“Aaaaww” Luna menjerit lirih setelah mencubit pipinya sendiri
Luna sadar ternyata ini bukan mimpi
Luna berusaha mendorong kursi rodanya sekuat tenaga, dia ingin mengejar Bima, menemuinya, memeluknya dan mengatakan “Aku kangen kamu”
Vika dan Lily pun mengikuti Luna dari belakang, merekapun menyadari Luna melihat sosok Bima.
Tapi belum sempat Luna menghampiri Bima, Luna menghentikan kursi rodanya. Luna melihat di sana seorang cewek tiba-tiba menggandeng tangan Bima. Menyadari Bima tidak datang sendirian, melainkan bersama seorang cewek tapi bukan dirinya, hati Luna seperti di tusuk pisau yang tajam. Bagaimana bisa cowok yang sangat dia cintai secepat itu melupakannya, sementara selama ini Luna selalu merindukannya.
Bima dan cewek itu pun menaiki sepeda air persis seperti apa yang Luna dan Bima juga lakukan sewaktu mereka datang ke danau ini dulu. Mungkin di tengah danau Bima juga menjanjikan hal yang sama ke cewek itu. Tapi Luna sudah tidak mau tahu lagi.
Luna hanya mengamati mereka dari kejauhan. Sampai akhirnya Bima dan cewek itu turun dari sepeda air dan lewat di hadapannya. Menyadari keberadaan Luna, Bima hanya terdiam seolah-olah tidak pernah mengenal Luna. Lalu pergi begitu saja sambil merangkul cewek itu. Hati Luna semakin teriris melihat sikap Bima yang cuek ketika melihatnya.
“Kamu gak papa Lun?” Lily bertanya khawatir
Luna menggelengkan kepala dan berusaha tetap tersenyum meski air mata menetes di pipinya tanpa dia sadari
“Aku samperin Bima ya ? Biar aku kasih pelajaran dia!” Vika melangkah maju, ingin sekali dia menonjok muka Bima yang sok innocent itu
Tapi Luna menarik tangan Vika, mencegahnya
“Jangaaaan..!” teriak Luna lirih
“Tapi dia itu kelewatan Lun” tegas Lily
“Udah, biarin aja ! aku gak papa kok. Kita pulang yuk !” ajak Luna seolah-olah dia baik-baik saja
Lalu mereka bertiga segera pulang.
Luna memang selalu seperti itu, sembunyi di balik senyum palsunya. Meskipun sebenarnya hatinya menangis. Mungkin dalam hati Luna ingin berteriak “Tuhan, rangkul aku di saat seperti ini!”. Secepat itu Tuhan mengabulkan do’anya agar di pertemukan dengan Bima, tapi juga secepat itu hatinya luka untuk kedua kalinya karna orang yang sama. Luna menyadari Tuhan begitu baik, begitu menyayanginya. Tuhan pun menunjukkan siapa Bima sebenarnya, cowok brengsek yang tidak pantas lagi untuk di rindukan. Luna tak lagi mau membuang waktunya untuk memikirkan Bima, cowok yang hanya memberi janji palsu, yang meninggalkannya begitu saja. Mungkin hati Luna belum sepenuhnya sanggup menerima setiap coba’an ini. Tapi Luna percaya setiap cobaan adalah kekecewaan di awal yang akan Tuhan gantikan dengan kebahagiaan suatu hari nanti. Luna yakin ini adalah kado terindah Tuhan di hari ulang tahunnya, setidaknya dia tahu Bima bukan yang terbaik untukknya dan Luna tidak ingin lagi membenci bulan Desember.

THE END ..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar